Kamis, 16 Mei 2013

Lima Fakta Budaya Khas Korea Utara

Juche, mengagungkan pemimpinnya secara berlebih, dan paranoia, merupakan beberapa di antara isi kehidupan warga Korut.
 Menara Juche di Pyongyang, Korea utara

Seiring meningginya tensi di Semenanjung Korea sepanjang Maret hingga April 2013, Korea Utara menjadi sorotan. Mengapa negara kecil nan tertutup ini bisa membuat negara adikuasa macam Amerika Serikat kerepotan?

Korut, yang dilaporkan juga mengalami musibah kelaparan, mampu mengaktifkan kembali reaktor nuklirnya yang diarahkan kepada "saudaranya", Korea Selatan. Mungkinkah jawabannya berada di lima fakta budaya Korut di bawah ini?

1. Juche
Juche merupakan ide yang digagas presiden pertama Korut, Kim Il-sung. Inti pemikiran ini adalah warga Korut harus bergantung pada diri mereka sendiri untuk pembangunan bangsa. Il-sung ingin agar warganya mempertahankan kemandirian politik dan ekonomi.

Secara esensi, ide ini menutup Korut dari hubungan diplomatik dan ekonomi dari negara-negara lain di dunia. Sayangnya ide ini sulit diterapkan ketika Korut mengalami bencana kelaparan pada tahun 1990-an.

2. Pemimpin yang dimitoskan
Ilustrasi Kim Il Sung, presiden pertama Korea Utara yang diabadikan dalam prangko.

Tampuk kepemimpinan di Korut merupakan dinasti yang diturunkan dari kakek-ayah-anak. Kim Il-sung, kakek dan presiden pertama, disebut sebagai "matahari" dan dimitoskan dapat mengatur cuaca.

Ilustrasi Kim Il Sung, presiden pertama Korea Utara yang diabadikan dalam prangko. (Thinkstockphoto)
Hari ulang tahun Kim Jong-il, anak dan presiden kedua, diperingati sebagai libur nasional. Kelahirannya bahkan diagungkan sebagai "kiriman surga". Sedangkan Kim Jong-un, cucu dan presiden ketiga, dianggap sebagai "putra yang lahir di surga".

3. Kamp konsenterasi
Dilaporkan oleh pemerintah Korsel, sekitar 154 ribu warga Korut ditawan di kamp konsentrasi. Namun, menurut perhitungan lembaga internasional lain, jumlah ini nyaris menyentuh angka 200 ribu orang.

Ada enam kamp yang kesemuanya dikelilingi pagar listrik. Menurut salah satu saksi yang berhasil kabur, ada dua kamp untuk rehabilitasi dan pelepasan tahanan. Tapi sisanya merupakan penjara untuk seumur hidup.

4. Keseharian di Korut
Patung di Pyongyang, Ibu Kota Korea Utara.

Dalam buku Nothing to Envy: Ordinary Lives in North Korea, digambarkan bagaimana orangtua di Korut mati-matian menyisakan makanan untuk anak-anaknya ketika bencana kelaparan melanda. Ini merupakan laporan hasil wawancara jurnalis Barbara Demick dengan warga Korut yang berhasil kabur ke Korsel.

NYTimes juga pernah melansir hasil wawancara warga Korut lainnya di Cina yang menyatakan mereka memiliki DVD selundupan agar tahu bagaimana kehidupan di dunia luar.

5. Adaptasi untuk bertahan hidup
"Edukasi di Korut tidaklah berguna untuk kehidupan kecuali untuk di Korsel," ujar Gwak Jong-moon, pengungsi Korut yang merupakan mantan Kepala Sekolah, kepada Blaine Harden --penulis buku Escape from Camp 14.

"Banyak siswa kami yang bersembunyi di Cina selama bertahun-tahun tidak punya akses ke sekolah. Karena anak-anak di Korut tumbuh besar dengan memakan kulit kayu dan berpikir kalau itu adalah hidup normal," lanjutnya.

Dilaporkan juga bahwa mayoritas masyarakat di Korut hidup dengan ketakutan berlebih. Salah-salah bicara, mereka bisa dilaporkan ke polisi karena dianggap menghina negara.

Related Articles

0 komentar:

Posting Komentar