Selasa, 19 Juni 2012

Mengupas Sejarah dan Makna Tari Tor-Tor

Tari Tor-tor dari Sumatra Utara, ditampilkan saat ada ritual panen, kematian, dan penyembuhan. Wujudnya mulai bertransformasi di wilayah perkotaan karena menjadi tontonan, tidak semua yang melihatnya ikut terlibat

Melimpahnya kebudayaan Indonesia terlihat dari beragamnya bentuk pertunjukan, tarian, alat musik, dan pakaian. Bukan hal mudah untuk menciptakannya karena harus mencurahkan akal budi dan daya upaya masyarakat suatu wilayah. Wajar jika kemudian terjadi perdebatan panjang saat Tari Tor-tor dan Gordang Sembilan (Gondang Sembilan) dari Mandailing, Sumatra Utara, dinyatakan akan menjadi hak cipta Malaysia.

Menurut Togarma Naibaho, pendiri Sanggar budaya Batak, Gorga, kata "Tor-tor" berasal dari suara entakan kaki penarinya di atas papan rumah adat Batak. Penari bergerak dengan iringan Gondang yang juga berirama mengentak. "Tujuan tarian ini dulu untuk upacara kematian, panen, penyembuhan, dan pesta muda-mudi. Dan tarian ini memiliki proses ritual yang harus dilalui," kata Togarma kepada National Geographic Indonesia, Selasa (19/6).

Pesan ritual itu, lanjut Togarma, ada tiga yang utama. Yakni takut dan taat pada Tuhan, sebelum tari dimulai harus ada musik persembahan pada Yang Maha Esa. Kemudian dilanjutkan pesan ritual untuk leluhur dan orang-orang masih hidup yang dihormati. Terakhir, pesan untuk khalayak ramai yang hadir dalam upacara. Barulah dilanjutkan ke tema apa dalam upacara itu.

"Makna tarian ini ada tiga, selain untuk ritual juga untuk penyemangat jiwa. Seperti makanan untuk jiwa. Makna terakhir sebagai sarana untuk menghibur," imbuh mantan pengajar Seni Rupa dan Desain di Universitas Trisakti, Jakarta itu.

Tari Tortor,sumatra utaraTari Tor-tor dari Sumatra Utara. Tarian ditampilkan dengan maksud membangkitkan jiwa yang ada dalam diri manusia.

Durasi Tari Tor-tor bervariasi, mulai dari tiga hingga sepuluh menit. Di tanah Batak, hal ini tergantung dari permintaan satu rombongan yang mau menyampaikan suatu hal ke rombongan lain. Dimintalah satu buah lagu pada pemusik. Jika maksud sudah tersampaikan, barulah tarian dihentikan.

Tarian ini akhirnya bertransformasi di Ibu Kota karena mulai ditampilkan di upacara perkawinan. Jika sudah sampai di upacara ini, bentuknya bukan lagi ritual melainkan hiburan. Karena menjadi tontonan dan tidak semua yang hadir ikut terlibat dalam tarian tersebut.

Memang belum ada buku yang mendeskripsikan rekam sejarah Tari Tor-tor dan Gondang Sembilan. Namun, ditambahkan oleh Guru Besar Tari Universitas Indonesia Edi Sedyawati, sudah ada pencatatan hasil perjalanan di zaman kolonial yang mendeskripsikan Tari Tor-tor.

Meski demikian, sama seperti kebudayaan di dunia ini, Tari Tor-tor juga mengalami pengaruh dari luar yaitu India. Bahkan jika ditelusuri lebih jauh pengaruhnya bisa tercatat hingga ke Babilonia.

Gondang Sembilan
Tari Tor-tor selalu ditampilkan dengan tabuhan Gondang Sembilan. Warga Mandailing biasanya menyebutnya Gordang Sembilan, sesuai dengan jumlah gendang yang ditabuh.

Jumlah gendang ini merupakan yang terbanyak di wilayah Suku Batak. Karena gendang di wilayah lainnya seperti Batak Pakpak hanya delapan buah, Batak Simalungun tujuh buah, Toba enam buah, dan di Batak Karo tingga tersisa dua buah gendang.

Menurut analisa Togarma, banyaknya jumlah gendang ini ada hubungannya dengan pengaruh Islam di Mandailing. Di mana besarnya gendang hampir sama dengan besar bedug yang ada di masjid. "Ada kesejajaran dengan agama Islam. Bunyi gendangnya pun mirip seperti bedug."

Gendang ini juga punya ciri khas lain yakni pelantun yang disebut Maronang onang. Si pelantun ini biasanya dari kaum lelaki yang bersenandung syair tentang sejarah seseorang, doa, dan berkat. "Senandungnya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunitas peminta acara," imbuh Togarma.

Sayangnya keindahan budaya Tari Tor-tor dan Gondang Sembilan ternoda dengan kurangnya penghargaan. Sulit mencari pihak yang mau membiayai pagelaran budaya ini, terutama di Ibu Kota. Hanya karena pejuang-pejuang seni Batak, Tari Toro-tor dan Gondang ini masih tumbuh dan terlihat keberadannya.

"Kebudayaan itu pengisi batin, bagian dari kehidupan. Karena hidup tidak cukup dengan makan saja, jiwa juga harus terisi seni," ujar Togarma.

Related Articles

0 komentar:

Posting Komentar