Rabu, 18 Mei 2011

Jendral Washington

26 November 1783. Jendral George Washongton tiba di Philadelphia. Seluruh penduduk mengelu-elukannya. Pahlawan revolusi yang menang. Panglima yang dicintai prajurit. Pemimpin yang membebaskan rakyat Amerika Serikat dari ancaman penjajahan Inggris untuk seterusnya. Maka harian Pennsylvania Journal pun menulis dengan huruf kapital : "WASHINGTON, THE SAVIOR OF HIS COUNTRY!". (WASHINGTON, SANG PENYELAMAT NEGERI INI!).
George Washington, sang penyelamat negri, kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat yang pertama. Berbeda dengan banyak orang yang duduk di Gedung putih sesudahnya, Washington tak terkenal gemilang. Dia kadang digambarkan sebagai tokoh yang agak bersahaja, dalam arti jangkauan intelektualnya terbatas. Dia dianggap lebih seorang "pekerja" ketimbang seorang "pemikir". Maka, apa gerangan tanda kebesarannya sebagai bapak bangsa?
 Seorang penulis sejarah Amerika Serikat yang terkemuka. Page Smith, menjawab pertanyaan itu dengan sebuah paradoks. Kebesaran Washington, tulis Smith dalam jilid ke 2 buku A New Age Now Begins, "terletak terutama bukan pada apa yang dilakukannya, melainkan pada apa yang tidak dilakukannya". Dengan kata lain, "pengkangan diri Washington lah & bukan tindakan Washington, yang menentukan kebesarannya"
Dia, sebagai pahlawan, tak membiarkan diri menuruti pujian. Dia sebagai pemimpin eksekutif yang begitu besar kekuasaannya (karena begitulah ditentukan oleh konstitusi Amerika Serikat), selalu sabar menghadapi wakil rakyat di Kongres. Ketika sejumlah pasukan bekas anak buahnya mengancam memberontak, Washington, dengan tatapan yang dibantu kacamata tua lalu menemui mereka. Ia menegaskan kembali, bahwa pejuang revolusi sekalipun peru tetap tunduk pada tata tertib sipil.
Barangkali karena itulah, Amerika Serikat berhasil meletakan fondasi demokrasinya hingga begitu kokoh selama lebih dari 200 tahun & orang pun teringat pada 1 tokoh lain yaitu Jawaharlal Nehru dari India pada abad ke 20.
Di bulan November 1937, di sebuah penerbitan di Calcutta dimuat 1 profil yang tajam tentang pemimpin kemerdekaan India itu. Nehru, begitulah tulisan itu menyebutkan, mengandung dalam dirinya beberapa anasir yang bisa menjadikannya seorang diktator. Ia populer, berkemauan keras & penuh energi.
Tapi ia bersikap tak toleran pada orang lain & cenderung menghina mereka yang lemah & tak efisien. Maka tulisan itu bertanya : Tak mengkinkah Jawaharlal membayangkan diri sebagai seorang Kaisar? Jawabnya : "Di situlah letak bahaya bagi Jawaharlal & bagi India".
Itu adalah peringatan yang dini bagi seorang yang diambang kekuasaan besar. Yang menarik, tulisan dikirimkan oleh Nehru sendiri. Meskipun ia tak pernah mengakui secara resmi bahwa dialah penulis profil yang tajam tentang dirinya itu.
Apakah sebabnya seorang dapat menahan diri? Nilai-nilai apa yang ada dalam dirinya hingga ia tergoda menjadi seorang Kaisar?
Page Smith, berbicara tentang Washington, menyebut adanya "etos Protestan" dalam diri tokoh itu. Tak begitu jelas segi mana dari etos itu yang menyebabkan seseorang sadar benar akan bahayanya sebuah posisi tinggi. Mungkin itu ada hubungannya dengan semangat yang secara lebih tajam tercermin pada kaum Puritan : semangat untuk waspada terhadap godaan yang menghimbau "daging".
Mungkin itu ada pula pertaliannya dengan hati seorang Calvin, yang percaya bahwa manusia "dijalari oleh racun dosa". Filosofi John Locke, seraya memperingatkan bahayanya kekuasaan, mengemukakan ketidak-percayaan bahwa kekuasaan itu akan "memperbaiki rendahnya sifat manusia".
Tapi mungkin tak selamanya hanya pandangan yang begitu (yang curiga pada pamrih orang) yang menyelamatkan Washington natau Nehru dari godaan. Sebab jika manusia hanya jelek & berdosa, dia takkan mampu mengatasi tendensi keji dirinya sendiri. Seorang yang eling, yang selalu "ingat", ialah seorang yang tau bersyukur melihat dirinya. Tapi ia juga seorang yang tau kerendahan hati bisa pergi.

21 Agustus 1982
Catatan Pinggir 2

Related Articles

0 komentar:

Posting Komentar